Ketua LPRI Kalsel Divonis Pidana Percobaan Dua Tahun



Banjarbaru - Ketua Lembaga Pemantau Pemilihan Republik Indonesia (LPRI) Kalimantan Selatan, Syarifah Hayana, resmi divonis bersalah oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Banjarbaru dalam kasus dugaan pelanggaran pada kegiatan pemantauan Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pilkada Banjarbaru.


Putusan dibacakan dalam sidang terbuka pada Selasa (17/6/2025) sore, oleh Ketua Majelis Hakim Rakhmad Dwinanto, S.H., M.H. Dalam amar putusannya, hakim menjatuhkan pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan denda Rp36 juta, namun dengan ketentuan bahwa pidana tidak perlu dijalani, kecuali jika selama masa percobaan dua tahun ke depan terdakwa kembali melakukan tindak pidana.


Majelis menilai bahwa unsur pidana telah terpenuhi berdasarkan Pasal 128 UU No. 1 Tahun 2015 jo. Pasal 187D UU No. 10 Tahun 2016. Dalam pertimbangannya, hakim menyebut tindakan terdakwa sebagai kelalaian administratif, karena hasil perhitungan suara yang disebarkan ke publik tidak berasal dari lembaga resmi dan tidak diketahui secara langsung oleh terdakwa.


Hakim menyatakan bahwa perbuatan tersebut tidak menimbulkan kegaduhan, tidak dilandasi kehendak jahat, dan tidak ditemukan unsur yang memberatkan. Terdakwa juga dinilai kooperatif selama persidangan serta memiliki peran penting sebagai tulang punggung keluarga, yang menjadi faktor meringankan dalam vonis yang dijatuhkan.


“Perlu dipahami bahwa tidak setiap kekeliruan informasi dapat serta-merta dijatuhi pidana berat, selama tidak terdapat niat buruk dan dampak signifikan terhadap ketertiban umum,” imbuh hakim.


Sementara itu, kuasa hukum terdakwa, Dr. Muhammad Pazri, S.H., M.H., menyatakan akan memanfaatkan waktu tiga hari yang diberikan majelis hakim untuk memutuskan sikap hukum, termasuk kemungkinan mengajukan banding atas putusan tersebut.


Pazri menjelaskan bahwa informasi yang menjadi pokok perkara bukanlah hasil atau rilisan resmi dari kliennya secara pribadi. Bahkan, menurutnya, terdakwa telah meminta agar informasi yang sempat beredar luas di media sosial agar segera diturunkan (take down), sebagai bentuk tanggung jawab moral.


Kasus ini menjadi perhatian publik karena menyangkut aktivitas lembaga pemantau pemilu, serta batasan etik dan hukum yang melekat pada peran mereka. Dalam konteks demokrasi, keberadaan pemantau dianggap penting untuk memastikan transparansi dan integritas pemilu.


Namun, perkara ini mengingatkan bahwa lembaga pemantau pun harus berpegang pada regulasi, terutama dalam publikasi hasil pengamatan, guna menghindari kesalahpahaman dan potensi pelanggaran.


Putusan terhadap Ketua LPRI Kalsel ini dipandang sebagai preseden penting, terutama menjelang pelaksanaan Pemilu 2029, di mana peran lembaga pemantau akan kembali menjadi sorotan publik dan regulator.

Penulis:   Putri Farahdiba